Dalam soal kerja, orang Kristen terus terang menonjol. Di Amerika Latin, di Eropa Timur, dan bahkan di negara komunis Cina, pihak lawan, walaupun dengan menggerutu, harus mengakui bahwa dengan Segala kekurangannya, orang-orang Kristen itu rajin. Bagaimanapun, para leluhur kita yang menciptakan etika Protestan.
Kita begitu menghargai etika kerja, sampai kita bahkan membiarkannya menyikat semua yang terlihat. Gereja kita berjalan seperti perusahaan; saat teduh kita dicantumkan dalam jadwal Organizer Harian (idealnya dalam perangkat lunak komputer); para pendeta kita menjaga irama kesibukan bagaikan eksekutif Jepang. Bekerja bagi orang Kristen menjadi satu-satunya kecanduan yang dihalalkan.
Dalam seni doa, seharusnya kita sudah ahli, tetapi saya punya beberapa keraguan. Cukup menggoda untuk mengubah doa menjadi bentuk kerja Yang lain, yang mungkin bisa menjelaskan mengapa di kebanyakan gereia doa terutama terdiri dari doa syafaat. Kira membawa permintaan permintaan kita kepada Tuhan dalam bentuk daftar keinginan, dan sangat terlalu jarang kita menyempatkan diri untuk mendengarkan jawabannya.
Saya melihat bahwa doa-doa dalam Alkitab (seperti misalnya dalam beberapa Mazmur) cenderung melantur, berulang-ulang, dan tidak tertruktur-lebih mirip bentuk percakapan yang kita dengar di tukang cukur daripada daftar belanjaan. Saya mempelajari doa-doa seperti itu dari umat Katolik, yang memiliki pemahaman lebih baik tentang doa sebagai tindakan penyembahan. Anehnya, bagi mereka yang melakukan doa sepanjang hari-Henri Nouwen, Thomas Merton, Macrina Wiedekchr, Gerard Manley Hopkins, Teresa dari Avila-doa tampaknya bukan seperti tugas dan lebih mirip percakapan tanpa akhir. Seperti kehidupan biasa dengan tambahan Pendengar lain.
Saya ingat sebuah wawancara Dan Rather dengan Bunda Teresa dari Kalkuta. “Apa yang Anda katakan pada Tuhan ketika berdoa?” tanya Rather. Bunda Teresa memandanginya dengan matanya yang berwarna gelap dan penuh perasaan, dan berkata pelan, “Saya mendengarkan.” Sedikit gugup, Rather mencoba lagi. “Lain, apa yang dikatakan Tuhan?” Bunda Teresa tersenyum. “Ia mendengarkan.”
Dalam soal tawa, bagian terakhir dari daftar tiga hal Auden, orang Kristen ketinggalan jauh dari dunia. Bagaimana lagi cara menjelaskan rendahnya sirkulasi majalah humor seperti The Wittenberg Door dan surat-surat marah yang diterima majalah Kristen dari para pelanggan yang gagal memahami satire?
Untuk memperbaiki ketidak-seimbangan itu, W. H. Auden mengusulkan dibangkitkannya lagi praktek-praktek Karnaval seperti Abad Pertengahan, perayaan Lent (masa empat puluh hari sebelum Paskah yang dimulai dengan Rabu Abu) yang hiruk pikuk dengan tawa, Ia menulis:
Karnaval merayakan bersatunya ras manusia kita sebagai makhluk yang bisa mati, yang datang ke dunia ini dan pergi dari dunia ini tanpa kita sadari, yang harus makan, minum, buang air, bersendawa, dan buang angin untuk bisa hidup, yang berkembang biak jika kita ingin spesies kita berkelanjutan. Perasaan kita tentang hal ini mendua . . Kita terombang ambing antara keinginan menjadi hewan yang tidak berpikir dan keinginan menjadi roh tanpa tubuh, karena jika kita salah satunya saja, kita tidak akan membingungkan bagi diri kita sendiri. Solusi Karnaval untuk ambiguitas ini adalah dengan tertawa, karena tawa secara bersamaan menjadi protes dan penerimaan sekaligus.
Di Abad pertengahan, Karnaval menawarkan penyaluran untuk mengekspresikan ambiguitas semacam itu. Para pemuda berdandan seperti gadis-gadis, gadis-gadis mempunyai banyak remaja berpakaian seperti pemuda. Orangorang dengan topeng dan kostum cenderung mengkarikaturkan keganjilan sifat hewani manusia melalui hiperbolis dan parodi: hidung palsu, dandanan rambut yang rumit, perut gendut, gigi bertaring, tanduk.
Saya pernah terjebak di Mardi Gras, terdesak di tengah kerumunan di Bourbon Street, New Orleans, dan saya harus mengatakan festival ini nyaris tidak ada kemiripan dengan Karnaval Abad Pertengahan. Wanitawanita muda berjalan di jalanan sambil berteriakteriak, “Dada untuk manik-manik!” Untuk pembelian kalung plastik menyolok, mereka mengangkat kaos mereka dan memperlihatkan bagian atas tubuh mereka tanpa penutup apa-apa. Dalam kemabukan, nafsu, dan bahkan kekerasan, orang-orang yang berpesta pora di Mardi Gras bukan membuat parodi, tetapi lebih seperti meninggikan sifat kebinatangan mereka.
Kemerosotan karnaval gereja menjadi pesta pora Mardi Gras adalah kemorosotan teologi. Seperti kata G.K. Chesterteon, “Jika tidak benar bahwa makhluk ilahi telah jatuh [ke dalam dosa], maka orang hanya bisa berkata bahwa salah satu dari hewan itu benar-benar telah sinting." Persis di sanalah bedanya Kekristenan dengan materialis modern. KarnaVal membuat parodi makhluk ilahi yang jatuh ke dalam dosa; Mardi Gras merayakan hewan yang sudah kehilangan kewarasannya.
C.S. Lewis pernah berkata, bahwa tanpa adanya bukti lain, hal-hal esensial dalam teologi tentang alam bisa diangkat dari fenomena manusia dalam lelucon-lelucon joroknya dan sikap mereka tentang kematian. Lelucon jorok hampir selalu berhubungan dengan subyek buang hajat dan reproduksi, dua dari proses paling “alamiah” di bumi, namun dengan senyum meringis dan kesepakatan bersama, kita melihatnya sebagai sesuatu yang sangat tidak alamiah, bahkan patut ditertawakan. Coba saja bayangkan seekor kuda atau sapi malu-malu tentang kebutuhan buang air di depan umum. Atau bayangkan seekor anjing atau kucing enggan kawin karena trauma seksual. Fungsi-fungsi yang sama-sama kita miliki dengan semua hewan lain, entah bagaimana hanya bagi manusia tampak aneh.
Demikian pula, satu-satunya alasan bagus untuk menemukan humor dalam fenomena seperti hidung super besar dan refleks bersendawa adalah karena kita masih memiliki sisa gaung samar dari Firdaus. Dalam semacam bentuk naluri yang mendalam dan mendua, tampaknya aneh bagi kita bahwa kita yang adalah vertebrata tegak, yang disentuh oleh api ilahi, bertindak seperti vertebrata lainnya.
tertawa mempunyai kemiripan dengan doa |
Sedangkan dalam persoaIan kematian, hanya manusia yang memperlakukannya dengan keterguncangan dan penolakan, seakan kita tidak pernah terbiasa dengan kenyataan, walaupun itu universal. Setiap kebudayaan menciptakan upacara rumit untuk menandai akhir kehidupan manusia.
Bahkan orang-orang Kristen di Barat, dengan kepercayaan tradisional pada kehidupan setelah kematian, mendandani jenazah dengan setelan baru, membalsem mereka (untuk apa? Untuk generasi mendatang?), dan mengubur mereka dalam peti mati kedap udara di lubang beton. Dengan ritual-ritual ini, kita memperlihatkan keengganan keras kepala untuk mcnyerah pada pengalaman paling dahsyat ini. Seperti pendapat Lewis, anomali ini memperlihatkan keadaan tegang permanen di dalam diri manusia. Seorang manusia adalah roh yang diciptakan dalam citra Allah, tetapi muncul sementara sebagai tubuh daging, dan lelucon jorok serta obsesi dengan kematian mengungkapkan gemuruh pertentangan dalam kondisi di antara ini. Kita tidak memiliki kesatuan. karena dahulu kala sebuah jurang menganga antara bagian diri kita yang bisa mati dan yang abadi; ahli-ahli teologi menelusuri asal usul retakan ini sampai pada kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Orang Kristen memiliki keuntungan besar dibandingkan orang lain. Sambung C.S. Lewis: bukan karena tidak sejatuh orang lain ke dalam dosa atau tidak seterkutuk yang lain untuk hidup di dunia yang sudah jatuh ini, tapi karena menyadari bahwa mereka adalah makhluk-makhluk yang sudah jatuh di dunia yang sudah jatuh. Untuk alasan itulah saya kira kita tidak boleh lupa menertawakan diri kita sendiri. Saya pernah membaca bahan-bahan klasik-Charles Darwin, Karl Marx, dan Bertrand Russell-dan saya belum pernah menemukan sedikit pun senyuman membayang di belakang kata-kata mereka. Gerakan "yang benar secara politis“ (politically correct) dalam jaman kita menunjukkan kemuraman yang sama. Orang hanya bisa memparodikan apa yang ia hargai, sama seperti orang hanya bisa menghujat [Tuhan] jika ia percaya Tuhan ada.
Terpikir oleh saya, sebenarnya tawa mempunyai banyak kemiripan dengan doa. Dalam kedua tindakan itu, kita berdiri di medan yang sama, secara bebas mengakui diri kita sebagai makhluk berdosa. Kita tidak terlalu serius memandang diri kita. Kita memikirkan kemakhklukan diri kita. Sementara pekerjaan membagi dan menentukan peringkat; tawa dan doa mempersatukan.
W.H. Auden mengakhiri renungannya dengan peringatan ini:
Kehidupan manusia yang memuaskan, secara individual atau kolektis, hanya bisa dimungkinkan jika rasa hormat yang sepantasnya diberikan kepada ketiga dunia itu. Tanpa Doa dan Kerja, tawa Karnaval menjadi menjijikkan, lelucon rendah yang jorok dan pornografis, agresivitas pura-pura menjadi kebencian dan kekejaman sungguhan. Tanpa Tawa dan Kerja, Doa menjadi Gnostik, fanatik, mirip Farisi, sementara mereka yang mencoba hidup hanya dengan Kerja saja, tanpa Tawa atau Doa, berubah menjadi pecinta kekuasaan yang tidak waras, tiran yang memperbudak. Nature pada nafsu sesaat mereka-sebuah usaha yang hanya bisa berakhir dalam malapetaka, kapal yang karam di Kepulauan Siren.
Catatan:
Artikel diambil dari buku yang berujudul "Finding God in Unexpected Places", Karya dari: Philip Yancey. Artikel ini dipublish atas dasar ketertarikan dari pesan yang terdapat pada artikel.
Artikel diambil dari buku yang berujudul "Finding God in Unexpected Places", Karya dari: Philip Yancey. Artikel ini dipublish atas dasar ketertarikan dari pesan yang terdapat pada artikel.
comment 0 Comments
more_vert